Kritik Tajam Datang Dari Aktivis Banyuwangi Raden Teguh Firmansyah Menilai Gaya Hidup Mewah Komisioner KPU Banyuwangi

Banyuwangi,Mediarepublikjatim.com-- Kritik tajam datang dari Aktivis Banyuwangi Raden Teguh Firmansyah terhadap gaya hidup mewah sejumlah komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Banyuwangi.

Raden menilai perilaku tersebut mencerminkan kebusukan institusi negara yang sudah merajalela.

Dalam pernyataannya, Raden menggambarkan betapa kebusukan telah merasuki tubuh KPUD Banyuwangi, yang dimana belum lama ini diterpa isu amoral

Penggunaan fasilitas Negara, kegiatan yang menurut Raden tidak berfaedah, hingga urusan dengan perempuan, menurut Raden ini adalah indikasi nyata dari kemerosotan moral yang memalukan.

Raden tidak ragu menyindir keras praktik politik uang yang dinilainya semakin merajalela.

Bahkan, ia menyoroti usulan seorang anggota DPR yang mengusulkan legalisasi politik uang dalam pemilu, dengan alasan realitas lapangan yang sulit dihindari.

Apalagi yang kemarin bagian-bagian yang diuntungkan oleh manipolitis adalah yang dekat dengan kekuasaan,” ujar Raden. Kamis 10 Oktober 2024.

Kritik Raden ini menggugah kekhawatiran akan integritas demokrasi di negeri ini.

Dalam konteks gaya hidup mewah, Raden dengan tegas menyinggung tentang penggunaan uang negara untuk memuaskan kepentingan pribadi para komisioner.

Mobil dinas mewah dan jam tangan mahal hanya sebagian kecil dari kemewahan yang dinikmati oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab menjaga keadilan dan integritas pemilu.

Raden menekankan “KPU itu hidup bermewah-mewah sebetulnya kan itu juga money politik sebetulnya.”

Tidak hanya itu, Raden juga menyoroti simbiosis mutualisme antara beberapa anggota DPR dengan komisioner KPU.“Dia justru berleha-leha dengan uang yang dibayar oleh rakyat melalui APBN,” ucapnya.

Usulan agar masalah-masalah tidak pantas, seperti prilaku amoral yang viral isunya dan urusan pribadi, tidak dibahas dalam sidang terbuka, mengindikasikan adanya upaya untuk melindungi kepentingan yang kotor.“Ini yang namanya gaya-gayaan,” jelasnya.

Raden menekankan Mereka merasa mereka pejabat tinggi, padahal dia itu adalah teknikus cuman tukang ngumpulin suara atau tukang bikin kotak suara.”

Lebih lanjut, Raden aktivis kontroversi ini menggambarkan keadaan ini sebagai gejala dari krisis yang mendalam dalam sistem politik dan ekonomi.

Pembusukan total institusi negara telah merajalela, menguji keberlangsungan bangsa ini.

Dalam situasi di mana banyak anak sekolah kesulitan membayar uang komite, keberadaan komisioner KPU yang hidup dalam kemewahan menjadi kontras sosial yang mencolok.

Raden mengatakan “Jadi lengkaplah kecurigaan kita bahwa tidak ada keseriusan KPU itu untuk mengurus Pemilu atau pilkada.”

Hal ini mencerminkan ketidakadilan yang terus memperdalam kesenjangan sosial di masyarakat.

Kritik Raden mencuatkan kekhawatiran akan keberlangsungan demokrasi dan moralitas dalam institusi negara.

“Sebetulnya kita memboroskan anggaran untuk menghasilkan pemilu pilkada yang memang pada akhirnya tidak ada legitimasinya,” tutupnya.

Raden berharap semoga kritik ini menjadi pemicu untuk introspeksi dan reformasi yang mendalam dalam sistem politik dan pemilu dan pilkada di Indonesia.(zl/lim)